Laman

Kamis, 03 Mei 2012

Bahasa dan Budaya Kekerasan

Artikel ini kami ambil dari Waspada Online, adalah opini yang ditulis oleh Bapak Maslathif Dwi Purnomo beliau berprofesi sebagai Dosen Linguistik Fak.Tarbiyah IAIN SU, Aktif di Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Sumatera Utara.
Diunggah pada tanggal 3 Desember 2011, menurut kami artikel ini cukup menarik, banyak informasi yang berguna yang bisa kita ambil mengenai apa yang dimaksud dengan ‘Bahasa dan Budaya kekerasan’.

Selamat Membaca.

Di masyarakat ditemukan banyak kata menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak. Bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?

 Fenomena kekerasan dalam masyarakat kontemporer merupakan gugatan terhadap diktum bahwa bangsa ini adalah bangsa yang memiliki budaya luhur dan penuh sopan santun. Faktanya mengkonfirmasi bahwa peradaban-peradaban di dunia dibangun dengan begitu banyak darah, korban nyawa dan harta benda.

Demikian halnya di Indonesia, kata integrasi, kedamaian bukan barang sederhana yang mudah ditemukan, karena telah terjadi pergeseran-pergeseran nilai, struktur sosial dan kebudayaan yang mapan nampak tidak lagi ramah, kita gagal memberikan efek sejuk dan harmonis dalam masyarakat kita yang pada gilirannya menghasilkan frustrasi budaya. Salah satu yang signifikan berkontribusi dalam memicu kekerasan adalah persoalan bahasa. Lalu, bahasa mendamaikan atau memicu kekerasan?


Kesadaran berbahasa

Bahasa adalah bagian terpenting membentuk budaya sebuah bangsa. Secara terus menerus, bahasa merupakan piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas. Melalui komunikasi oleh anggota masyarakat bahasa berperan selain sebagai alat komunikasi yang menunjukkan identitas dan karakter seseorang, tinggi rendahnya kualitas komunikasi lisan maupun tulisan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan.

Semakin baik bahasa yang digunakan dalam komunikasi oleh pembicara maupun penulis, maka semakin mudah pula pendengar dan pembaca mendapatkan maksud dari pesan tersebut. Sebaliknya, apabila pembicara atau penulis menggunakan bahasa yang asal-asalan bahkan tidak sesuai dengan struktur kalimat yang seharusnya, maka interpretasi dari makna ungkapan tersebut akan lain dari apa yang diinginkan dan tidak jarang akan menimbulkan konflik serta kekerasan.

Dalam berkomunikasi verbal maupun tekstual, masyarakat cenderung mengunakan bahasa yang serampangan dan asal-asalan, hal ini diakibatkan karena komunikan menginginkan kemudahan dalam memilih kalimat yang digunakan. Tetapi kalimat tersebut tanpa disadari menimbulkan arti berbeda bagi pendengar dan pembaca. Kesalahan penggunaan kata dalam bahasa lisan maupun tulisan akan berakibat fatal bagi makna yang terkandung, apalagi penghilangan beberapa kata dalam suatu ungkapan dan kalimat tertentu secara langsung akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca dan pendengar.

Penggunaan bahasa yang tidak tepat sering menimbulkan konflik, sebab setiap kata yang menjadi ungkapan mengandung makna dan makna itu terbentuk berdasarkan persepsi dan interpretasi orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Ketidaktepatan pilihan kata yang digunakan akan menghasilkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan para komunikan. Kesalahan persepsi akan menjadi hambatan yang besar dalam proses komunikasi, bila hambatan yang ada tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan konflik, permusuhan, dan bahkan perang.

Beberapa waktu lalu, kita mendengar penggunaan kata “bangsat” dan “setan “oleh anggota DPR telah memicu timbulnya konflik antara elit politik di Indonesia. Apapun alasannya, penggunaan kata kasar oleh anggota DPR yang terhormat tidak bisa diterima. Anggota DPR seharusnya menggunakan bahasa yang santun sebab keberadaan mereka merupakan representasi dari rakyat Indonesia. Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada publik tentang bagaimana berkomunikasi yang baik. Mereka berbicara bukan mewakili suara mereka sendiri tetapi mereka mewakili suara rakyat sebab mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Wajar saja bila masyarakat memprotes penggunaan kata “bangsat” dan “setan” sebab kedua makna kata itu sangat bertentangan dengan identitas terhormat yang melekat pada anggota dewan.

Bahasa adalah nafas dalam komunikasi, karena tidak ada komunikasi dalam situasi apapun yang lepas dari bahasa sebagai alatnya. Oleh karenanya, bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan. Orang tidak bisa hidup tanpa bahasa sebab dalam setiap gerak kehidupan manusia berkaitan dengan bahasa. Karena begitu dekatnya hubungan bahasa dan manusia, sebagian dari kita cenderung kurang menyadari bahasa yang digunakan. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran bahasa adalah mempelajari bahasa.

Bahasa dan identitas bahasa sangat berkaitan erat dengan penggunanya. Bahkan bahasa dapat merepresentasikan identitas penggunanya. Kata-kata yang terucap dari mulut seseorang dapat memberikan gambaran karakter, kepribadian, sikap, dan pandangan hidup. Jika seseorang menggunakan bahasa kasar maka ia cenderung mempunyai karakter kasar pula. Sebaliknya, jika menggunakan bahasa sopan, maka ia cenderung mempunyai karakter yang sopan pula. Dengan demikian perlunya kesadaran berbahasa yang baik dan mampu merepresentasikan citra diri dan karakter kita sebagai bangsa yang sopan dan beradab.


Kekerasan simbolik 

Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kasar kepada seseorang. Kekerasan simbolik sama dampaknya dengan kekerasan fisik, kekerasan simbolik dapat merusak jiwa dan kepribadian seseorang. Lebih parahnya lagi, korban kekerasan simbolik cenderung mewarisi pengalaman kekerasan simboliknya yang alaminya. Akibatnya, orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan simbolik akan cenderung mempunyai karakter kasar, emosional, anarkis, dan brutal. 

Dalam realitas di masyarakat dapat ditemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, dan lain-lain. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut? Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan?

Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Wittgenstein dalam teori Language Game-nya, menyatakan manusia memperlakukan bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak sesiapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa.

Kita sering menjumpai berbagai kalimat yang sesungguhnya ambigu secara semantik dan salah penempatan secara pragmatik serta lebih bersifat mendiskreditkan seseorang atau komunitas tertentu ditempat-tempat umum serta kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta. Bahkan ironisnya, kalimat-kalimat tersebut justru sering juga kita jumpai di institusi pendidikan dan bahkan di lembaga yang bergerak khusus di bidang bahasa. Kalimat-kalimat tersebut antara lain sebagai berikut:

 “Pemulung masuk digebuk”, “Ngebut Benjol”, “Dilarang Kencing Di sini, Kecuali Anjing!”, “Masuk Tanpa salam, Keluar Tanpa Kepala”, “Dilarang Merokok”, “Tidak Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Apapun”, “Ada uang Ada barang” “Tamu Harus Lapor!”, “Yang Membawa HP Harus Dimatikan” Masih banyak kalimat-kalimat yang sengaja ditulis oleh masyarakat dalam kondisi tertentu yang bersifat ambigu dan kesannya merendahkan salah satu pihak dari proses komunikasi ini. Hal-hal diatas tentunya menimbulkan tanda tanya yang besar buat kita, apakah masih layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang mengedepankan kesopanan, keluwesan, serta selalu santun dalam menggunakan kata dan kalimat?

Kesimpulan 

Bahasa yang dapat menimbulkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat harus semaksimal mungkin dihindari. Penghindaran terhadap pemilihan kata yang dapat memicu konflik dan kekerasan bukan saja harus dilakukan oleh para elit politik dan pejabat negara di negara ini, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat bangsa ini harus menyadari betapa pentingnya memilih kata yang sopan, lugas, dan tidak merendahkan orang lain maupun golongan tertentu dalam setiap peristiwa komunikasi yang diciptakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tentu tidak sedang mewariskan bahasa dan budaya kekerasan pada generasi ini kan? Kalau begitu mari berbahasa yang damai, berbudaya damai!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar